Politik Representasi: Esensi Seni dan Perwakilan

I Wayan Dyota P
6 min readDec 9, 2022

--

I Wayan Dyota Parahita (20/455874/SP/29463)

The Potato Eaters (1885) oleh Vincent Van Gogh

Problematika Representasi

Masalah representasi terutama menyangkut kepentingan berbagai pihak yang seringkali terlewatkan hingga tidak keterwakilan, menjadi topik yang selalu muncul dan menimbulkan perdebatan. Hal ini menyangkut ketidakberdayaan kelompok perwakilan yang tidak mewakili kepentingan masyarakat yang sudah memberi otoritas untuk berkuasa dan bertindak namun nyatanya hanya mewakili kepentingan individu atau persemakmuran. Menyikapi permasalahan perwakilan tersebut, sejatinya seperti yang disampaikan oleh David Runciman, demokrasi perwakilan seringkali tidak mewakili warga negara secara individu melainkan melihat entitas kolektif secara luas sebagai warga negara. Hal yang sama pun disampaikan oleh Pitkin terkait dengan pemerintahan perwakilan yang tidak akan bisa mewakilkan kepentingan masyarakat secara menyeluruh (Shapiro et al., 2009). Namun, keresahan ini yang kemudian menimbulkan keberlanjutan yaitu adanya ide tentang representasi baru yaitu representasi informal.

David Runciman menjelaskan secara lebih lanjut terkait dengan demokrasi perwakilan yaitu ketika lembaga formal sudah dianggap tidak bisa memfasilitasi perwakilan, maka muncul dan tercipta mekanisme perwakilan informal yang kemudian dapat bersaing dan mempengaruhi parlemen. Gerakan perwakilan informal ini yang diperlukan terkait dengan representasi masyarakat untuk dapat diartikulasikan sebagai pelengkap demokrasi. Pelengkap demokrasi yang secara langsung dapat meningkatkan partisipasi langsung oleh sipil dengan lebih fokus pada masalah tunggal dan memiliki manfaat langsung untuk kepentingan masyarakat (Tornquist et al., 2009). Gagasan ini memberikan berbagai ide tentang perwakilan politik sebagai akibat dari krisis representasi dan perwakilan yang pada mulanya dialami oleh masyarakat barat pada akhir abad ke-20 yang melihat ketidakberdayaan dan ketidakpercayaan terhadap partai politik. Berkaitan dengan gerakan perwakilan informal, menyikapi fenomena yang disebutkan oleh Sintomer (2010) yaitu “demokrasi penonton” dan masalah di ruang lingkup masalah publik, timbulah sejumlah aksi untuk mengatasi krisis legitimasi perwakilan tersebut dengan penguatan media massa dan gerakan organisasi sosial yang bersifat kerakyatan. Sama seperti yang dijelaskan diatas, sejumlah aksi ini dapat dilihat sebagai penguatan kelembagaan misal untuk pemantauan lembaga sebagai bentuk demokrasi partisipatif yang menghargai perbedaan pendapat dan aspirasi.

Representasi dan Seni Modern

Berbekal berbagai permasalahan perwakilan yang seringkali tidak sesuai dengan kepentingan konstituen, bentuk representasi baru diciptakan di luar arena pemerintahan. Salah satunya adalah melalui seni. Seni pada akhir abad-20 mulai melepaskan diri dari ruang geometris galeri seni yang memiliki kesan terbatas dan eksklusif terhadap beberapa kalangan saja mulai merambah dan keluar dari ruang tersebut dan mulai mengambil konteks krisis demokrasi representatif (Galuppo et al., 2015). Seni modern sendiri mulai mengalami pergeseran bukan hanya menonjolkan sisi artistik (keindahan) saja namun juga dari sisi representasi yang hendak diupayakan untuk dijelaskan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, seni modern saat ini mulai berkembang dengan membawa isu-isu tertentu dan dianggap sebagai bentuk radikal. Hal ini dapat dilihat dari konsep modernis yang kemudian mempengaruhi seni itu sendiri. Pemikiran baru ini mulai mempertanyakan peran seni yang lebih luas dalam masyarakat. Roger Fry, seorang kritikus seni rupa dari Inggris pada awal abad ke-20 mengkritik “primitivisme” sebagai hal yang sudah mempersempit ideologi dan ide. Modernis ingin melihat agar audiens seni dapat dituntun menuju pengakuan atas realitas sosial dari tanda-tanda naratif yang coba disampaikan oleh perupa. Namun, modernis ini kemudian dikritik oleh Jason Geiger dan Paul Wood dalam bukunya yang berjudul “Art of the Twentieth Century” yang menjelaskan bahwa kekuatan modernis sejatinya adalah bergandengan dengan sosialisme. Perubahan ini timbul sebagai rasa muak dan lelah akan perubahan kelas pekerja dan tidak diwakilinya kepentingan di parlementer (Gaiger & Wood, 2004). Hal ini kemudian ditafsirkan secara luas seperti revolusi dan kelompok masyarakat yang semakin sadar tentang kesadaran kelas. Tentang keadaan ekonomi dan kesadaran kelas ini nyatanya juga disampaikan oleh Pitkin tentang krisis representasi yang salah satunya kendala utama terhadap representasi adalah kekayaan. Mengutip dari yang disampaikan oleh Marxis, terdapat ketidakseimbangan kekuatan ekonomi dan modal antara kelas pekerja dengan penguasa sehingga muncul narasi perjuangan kelas tersebut. Jika mengambil pernyataan Olle Tornquist dalam bukunya yang berjudul “Rethinking Popular Representation”, akumulasi modal primitif oleh elit ini yang menyebabkan sejumlah imbalan seperti kebebasan dasar, partisipasi dasar selama ada kesepakatan yang berlangsung (Tornquist et al., 2009). Namun, hal baik tersebut berjalan beriringan dengan tata kelola dan representasi yang buruk karena akumulasi elit dan kurangnya pengaruh rakyat dalam parlemen. Oleh sebab itu perlu adanya gerakan populer dan pengaturan informal.

Pemaknaan Seni sebagai Representasi

Demokrasi baru ini seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya memberikan landasan kebebasan. Kebebasan ini yang akan memunculkan sebuah perkembangan yang bernama demokrasi budaya ekspresif. Hal ini sebagai bentuk dari perkembangan media dan demokrasi budaya yang memberikan tempat bagi ekspresi lintas minat dan berbagai bentuk seni sudah dianggap sebagai demokrasi partisipatif. Pada babak inilah ide dan pemaknaan dinegosiasikan untuk menghasilkan pemikiran dan argumen yang dapat melegitimasi dan mengembalikan makna demokrasi bagi masyarakat (Juncker & Balling, 2016).

Tulisan ini akan lebih menyorot pada seni sebagai lukisan dan mural sebagai wadah representasi. Lukisan di era modern saat ini bukan hanya dilihat pada penggunaan komposisi atau gradasi warna pada objek atau keseluruhan aspek lukisan namun dilihat secara lebih mendalam pada isi dan pemaknaan tersirat atau tidak tersirat yang disampaikan. Seperti pada lukisan Vincent Van Gogh yang sering menyorot kejujuran realitas kemiskinan dan sedikit tambahan romantisme seperti pada lukisan “The Potato Eaters” pada tahun 1885 yang menggambarkan bahwa semua kalangan dapat menikmati sinar matahari secara gratis. Penggambaran sosialisme yang mulai berakar kuat pada lukisan Giuseppe Pellizza da Volpedo, pelukis asal Italia yaitu “The Fourth Estate” yang menggambarkan komunitas pekerja sudah memiliki kekuatan dan sedang menyelenggarakan pawai (Jonathan Jones, 2014). Namun, secara jujur penulis melihat penggunaan kelas bawah untuk representasi dalam lukisan sebelum demokrasi modern ini hanyalah sebatas romantisme semu dan tidak memiliki unsur mewakilkan kepentingan. Van Gogh hanya melakukan upaya representasi murni sebagai objek dan kondisi sosial yang diinginkan. Seni sebagai gerakan informal seharusnya akan merangsang kesadaran tentang isu penting bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam transformasi keadaan sosial maupun politik (Lee, 2015).

The Fourth Estate (1868) oleh Giuseppe Pellizza da Volpedo

Hal yang berbeda dapat terlihat pada sejumlah lukisan dan mural seperti lukisan potret Barack Obama ole Kehinde Wiley dan sejumlah mural yang dianggap provokatif karena menyuarakan kekerasan aparat dan kegelisahan warga. Lukisan Barack Obama yang dibuat oleh seniman Kehinde Wiley pada tahun 2018 bisa menjadi sebuah gerakan informal dan representasi karena menampilkan pertama kali dalam sejarah presiden Amerika kulit hitam yang juga dilukis oleh seniman Afrika-Amerika. Sejatinya presiden Amerika hanya eksklusif untuk kulit putih dan lukisan potret presiden biasanya dilukis seniman kulit putih (Smith, 2018). Pada kasus kedua seperti mural yang menuangkan aspirasi masyarakat secara jujur, sejatinya itu menjadi tempat atau wadah bagi gap masyarakat dan perwakilan informal (pemerintah) untuk mengumpulkan narasi perkotaan dan gagasan ideal tentang apa yang baik dan diinginkan oleh rakyat. Terlebih seni ini dapat diakses oleh ruang publik yang mengembalikan makna demokrasi yang melibatkan partisipasi dan dialog. Mengembangkan dimensi rantai kedaulatan rakyat untuk menjadi perhatian publik tentang kehadiran dan keterlibatan sipil dalam pemerintahan.

Barack Obama&Michelle Obama (2018) oleh Kehinde Wiley dan Amy Sherald

Kesimpulan

Seni menjadi sebuah wadah representasi yang wajar untuk saat ini. Terlepas dari keefektifitasan media ini menyampaikan dan mengangkat sebuah isu, seni menjadi sebuah gerakan yang dapat membawa ketersinambungan koalisi masyarakat dan menggugah perasaan lewat berbagai tampilan visual dan pemaknaan didalamnya. Terlebih mengingat memori kelam sejarah negara Indonesia disaat seni dihapuskan dan dipolitisasi, era demokrasi modern ini menjadi ajang serta panggung bagi seni untuk kembali berkibar dan ikut bagian sebagai representasi rakyat kepada negara.

Daftar Pustaka

Gaiger, J., & Wood, P. (2004). Art of the Twentieth Century. Yale University Press.

Galuppo, M., Lopes, M. S., Gontijo, L. de A., & Salgado, K. (2015). From Art to Politics : Challenging Representation.

Jonathan Jones. (2014). Poverty lines: where are the poor in art today? Theguardian.Com. https://www.theguardian.com/artanddesign/jonathanjonesblog/2014/dec/30/art-and-poverty-where-are-poor-in-art-today

Juncker, B., & Balling, G. (2016). The Value of Art and Culture in Everyday Life: Towards an Expressive Cultural Democracy. Journal of Arts Management Law and Society, 46(5), 231–242. https://doi.org/10.1080/10632921.2016.1225618

Lee, D. (2015). A Troubled Vernacular: Legibility and Presence in Indonesian Activist Art. Journal of Asian Studies, 74(2), 303–322. https://doi.org/10.1017/S002191181400223X

Shapiro, I., Stokes, S. C., Wood, E. J., & Kirshner, A. S. (2009). Political Representation. In วารสารวิชาการมหาวิทยาลัยอีสเทิร์นเอเชีย (Vol. 4, Issue 1). Cambridge University Press.

Smith, D. (2018). Barack and Michelle Obama’s official portraits expand beyond usual format. Theguardian.Com. https://www.theguardian.com/artanddesign/2018/feb/12/barack-obama-michelle-obama-national-portrait-gallery

Tornquist, O., Webster, N., & Stokke, K. (2009). Rethinking Popular Representation. Rethinking Popular Representation, February 2018. https://doi.org/10.1057/9780230102095

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response